SOMEWHERE
Dir: Sofia Coppola
Hedonisme, scene striptease dengan lagu Foo Fighters dan ice skating. Somewhere fits the market-niche nicely. Mari kita kilas balik sedikit. Menurut saya, puncak karir Sofia Coppola adalah Lost in Translation (2003): 4 nominasi Academy Awards — Best Picture, Best Actor – Bill Murray, Best Director, Best Original Screenplay — Dan sebuah piala Oscar untuk Best Original Screenplay. Lost adalah sebuah film yang artsy (tetapi tidak pretensius) dan berhasil menjadi underdog terbesar tahun itu, lalu merubah dunia film untuk selamanya: membuat film-film indiecliche menjadi lebih diperhitungkan. Bukan berarti Marie Antoinette gagal. Bukan berarti Somewhere gagal juga. Somewhere kembali membawa Sofia ke area dramedy/tragic comedy dengan kembali mengeksplor tema-tema seperti alienasi, eksistensialisme, culture shock, insomnia, etc. Kali ini Stephen Dorff memainkan peran yang (kurang lebih) sama dengan yang dimainkan Bill Murray 7 tahun lalu: seorang aging actor (walaupun tidak setua Bill Murray) dengan masalah-masalahnya (seorang anak yang diperankan dengan sangat presisi oleh Elle Fanning). Lost in Translation berhasil menghasilkan output bagus walaupun membuat penonton mengabaikan cerita dan character development, karena tetap memainkan emosi penonton dan berfungsi hampir sama dengan musik “ambient”. Lain hal dengan Somewhere yang kurang berhasil di departemen itu: durasi 97 menit yang terasa hambar. Absennya Brian Reitzell pun membuat score Somewhere yang dikerjakan oleh Phoenix menjadi kurang intens bila disandingkan. All in all, Somewhere is a good film. Tapi untuk ukuran sineas sekelas Sofia Coppola, tentunya Virgin Suicides dan Lost in Translation masih menjadi pilihan utama para penggemarnya.
CYRUS
Dir: Jay Duplass & Mark Duplass
Sebuah dramedy yang sedikit offbeat dari Duplass bersaudara yang pernah menghadirkan film-film sub-genre indie yang biasa disebut mumblecore oleh para kritikus. Saya banyak melihat joke-joke offbeat tipikal The Office, dimana kamera zoom in/zoom out dengan kasar ke muka aktor layaknya sebuah mockumentary dengan kamera handheld yang penuh dengan sarkasme. Duplass sangat pintar membuat situasi awkward yang bisa membuat kita tersenyum ataupun tertawa sampai sakit perut. Ini adalah pertemuan kedua kolaborasi John C. Reilly dengan Jonah Hill: John adalah aktor yang pernah mendapat nominasi Oscar yang juga fasih berdialektika dalam bahasa komedi, sedangkan Jonah adalah “anggota” geng komedi Judd Apatow yang namanya semakin melejit setelah “Superbad” dan “Get Him To The Greek”. Untuk ukuran indie-cliche, film ini cukup underatted dan ternyata menampilkan performa yang pol-polan dari Reilly, Hill, dan juga Marisa Tomei.
RUMAH DARA / MACABRE
Dir: Mo Brothers
Satu-satunya film Indonesia yang pernah di-banned di Malaysia, Rumah Dara is totally badass. Sadis, intens dan artsy (in a Dario Argento’s kind of way). The blood splatter and gore looks good. Kadang aktingnya sedikit over-the-top, tetapi siapa sih yang bisa melupakan “Enaakkk kan??!!”. Chainsaws, caniballism and dead cops. I’m looking forward for the Mo Bros next movies.
TOY STORY 3
Dir: Lee Unkrich
Walaupun sedikit dark untuk sebuah film animasi yang memiliki target-market anak-anak kecil — dan para orang-tua mereka, tentunya — Toy Story 3 definitely has a heart. Dengan rendering grafis ala Pixar yang semakin canggih, film ini akan menghibur secara visual, suara dan narasi. Kolaborasi voice-acting Tom Hanks dan Tim Allen pun semakin terlihat natural, apalagi ketika Randy Newman memberi scoring megah ala Disney sebagai latar drama mainan-mainan usang ini. This movie will take you back to your childhood years with all the toys that you’re begging your parents to buy.
BLACK SWAN
Dir: Darren Aronofsky
Performa melodramatis dari Natalie Portman dan penyutradaaan brilian ala Darren Aronofsky (Requiem For A Dream) membuahkan hasil yang optimal: Black Swan. Siapa sangka dunia balet penuh dengan intrik dan pengkhianatan? Setelah The Fountain yang artsy dan The Wrestler yang membuahkan 2 nominasi Oscar, kali ini Aronofsky membuat keputusan tepat setelah menolak mendirect Batman Begins dengan membuat sebuah horror psikologis yang menghilangkan batas antara realita dan fantasi. Oh ya, ada beberapa adegan masturbasi, mutilasi dan halusinasi disini. Tipikal film-film Aronofsky sekali.
LET ME IN
Dir: Matt Reeves
Sebuah twist yang aneh dari rutinitas film vampir standar. Lupakanlah Twilight, karena Let Me In adalah the real deal. Sebuah Hollywood remake dari film horor Swedia berjudul Let The Right One In, yang juga diadaptasi dari novel John Ajvide Lindqvist. Penulis-sutradara Matt Reeves, yang pernah membuat film horror dengan style cinema verite, Cloverfield, Tetap setia pada gaya penyutradaan film Swedia pendahulunya. Kabar baiknya adalah film ini kurang lebih sebagus film Swedia-nya. Kabar buruknya tentunya adalah: jika kamu sudah menonton yang versi Swedia, sebenarnya tidak ada poin untuk menonton remake ini, kecuali ingin melihat Chloe Grace Moretz disini, yang juga menggemaskan memainkan Hit-Girl di film Kick-Ass.
THE ILLUSIONIST
Dir: Sylvain Chomet
Sylvain Chomet adalah seorang animator bertangan dingin. Kembali lagi dengan film kartun berjudul “The Illusionist”. Jangan bingung karena judulnya sama dengan sebuah film tentang sulap yang diperankan oleh Edward Norton dan Paul Giamatti. Karya Chomet The Triples of Belleville (2003), selain mengembalikan kepercayaan saya pada film kartun, mendapatkan 2 nominasi Academy Awards untuk Best animated feature dan best original song. Dan rupanya Chomet masih belum kehilangan sentuhan emasnya dalam membuat The Illusionist. Produksi dan palet warna yang digunakan Chomet sangat menarik sekali. Berbeda dengan film-film animasi yang kamu lihat pada tahun ini, The Illusionist akan membawamu ke dunianya sendiri.
SCOTT PILGRIM VS. THE WORLD
Dir: Edgar Wright
Dalam sejarah sinema, baru film ini yang dengan gagahnya memakai musik latar dari game Nintendo “Zelda”. Diisi dengan banyak pop culture references terhadap musik alternatif (Smashing Pumpkins), vegan lifestyle, underground comics, sampai game-game Nintendo seperti Zelda, Mario dan Clash At Demonhead (yang dipakai menjadi nama salah satu band di film ini), Tentunya Scott Pilgrim akan memiliki tempat tertentu dihati para videogame geek, comic book dorks sampai music-nerd. Diambil dari komik, ehm ehm, graphic novel karya Brian O’Malley, Scott diadaptasikan dengan baik ke layar lebar, dan tentunya dengan gaya penyutradaan dan visual yang cukup nyeleneh. Soundtracknya pun cukup menjanjikan: Nigel Godrich, Beck, Metric, Broken Social Scene, Cornelius, Dan the Automator, Kid Koala, dan David Campbell. Well done Michael Cera, you’re this generation nerd icon.
A SERBIAN FILM
Dir: Srđan Spasojević
Tentunya cerita tentang child-rape, nekrofilia dan snuff porn adalah sebuah film yang niche. Violence yang ditampilkan disini memang over the top, kamu akan mengingatkan dirimu sendiri kalau ini hanyalah sebuah film. Not for the faint hearted, film super sadis ini menggunakan style cinema verite untuk menangkap realitas adegan-adegan yang ditampilkan. Nuff said, ini adalah film paling brutal untuk tahun 2010.
YOU WILL MEET A TALL DARK STRANGER
Dir: Woody Allen
Maaf ini sedikit subjektif. Tapi karya sinematik Woody Allen selalu mempunyai tempat dihati saya. Kali ini sebuah ensemble cast yang diperankan oleh: Anthony Hopkins, Naomi Watts, Josh Brolin, Antonio Banderas, Gemma Jones, Freida Pinto, dan Lucy Punch. Seperti biasa, kali ini Allen lebih menyukai backdrop kota London ketimbang New York — kecuali Vicky Cristina Barcelona yang bersetting di Barcelona. Duh.— Entah kenapa. Mungkin tidak sebagus Manhattan (1979) , Annie Hall (1977) atau beberapa film terakhir Allen seperti Match Point (2005), Whatever Works (2009) atau Vicky Cristina Barcelona (2008). Sebuah romantic comedy dari Woody Allen hanya mempunyai 2 titik ekstrim: either you love it or hate it. FYI, Tahun 2011 pun Allen akan merilis satu film lagi yang berjudul Midnight in Paris. Orang ini sangat produktif, dia membuat film seakan tidak ada hari esok.
KICK-ASS
Dir: Matthew Vaughn
Kick-Ass merubah wajah adaptasi komik superhero ke layar lebar untuk selamanya. Adaptasi komik karya Mark Millar dan John Romita Jr. Ini cukup sadis, subversif, dan dipenuhi dark humor yang sarkas. Tentunya, Kick-Ass juga menampilkan performa menarik yang mencuri perhatian penonton dari Chloe Grace-Moretz sebagai Hit Girl: gadis 11 tahun yang mengucapkan dialog seperti “Okay you cunts, let’s see what you can do now!”. Performa Nicholas Cage sebagai Big Daddy pun patut diacungi jempol, bagi mereka yang masih ingat kepada Batman versi Adam West yang dulu sangat klise sekali di televisi. Great laughs, great fun movie going experience. Kick-Ass puts the FUN back in FUNERAL. I urge you to see this on a big screen with lotsa friends.
BIUTIFUL
Dir: Alejandro Gonzalez Inarritu
Setelah membuat trilogi kematian Amores Perros (2000), 21 Grams (2003) dan Babel (2006), Alejandro Gonzalez Inarittu akhirnya membuat Biutiful: sebuah drama powerhouse yang kembali menggunakan bahasa Spanyol seperti film debutnya Amores Perros. Biutiful yang diperankan dengan sangat baik oleh Javier Bardem, memiliki narasi linear yang sangat kuat, puitis dan memiliki visual yang indah. Bercerita tentang seorang “protagonis” bernama Uxbal, seorang tokoh bawah tanah yang sudah mendekati ajalnya dan berdialektika dengan dilema-dilema seperti rasa bersalah, penyesalan, ambiguitas dan keluarga. Dari awal, Inarritu memang sudah ingin membawa Biutiful kepada para penonton arthouse. Film ini memang membutuhkan untuk ditonton beberapa kali untuk mendapatkan feelnya. Challenging and beautiful, this is great but not for everyone.
EXIT THROUGH THE GIFT SHOP
Dir: Banksy
Pertanyaan saya: kalau Banksy mendapatkan piala Oscar, apakah dia akan datang? Kalau iya, apakah dia akan memakai topeng monyet ke Academy Awards? Ok. Dokumenter ini adalah kasus klasik peribahasa lama — “sang pemburu yang akhirnya diburu” — terjadi disini. Seorang imigran asal Perancis: Thierry Guetta, memutuskan untuk menjadi “filmmaker” yang “terobsesi” mendokumentasi scene street-art setelah melihat karya-karya Invader, adik Thierry yang sudah cukup dikenal dunia street-art internasional. Thierry mulai merekam dan berdialektika dengan seniman-seniman jalanan seperti: Monsieur André & Zevs, Shepard Fairey (OBEY), T Seizer, Neck Face, Sweet Toof, Cyclops, Ron English, Dotmasters, Swoon, Borf dan Buffmonster. Tetapi tetap, fokus dari proyek Thierry adalah seniman graffiti/aktivis politik asal Bristol-Inggris: Banksy. Muak akan eksploitasi Thierry yang hanya mencari profit, Banksy “mengambil” kamera dan menjadikan si filmmaker menjadi subjek didalam dokumenternya sendiri. Hasilnya: salah satu dokumenter (atau mockumentary?) terbaik dalam sejarah perfilman. Dan sekaligus mimpi buruk bagi karir Thierry. PS: lagu Richard Hawley “Tonight The Streets Are Ours” adalah soundtrack yang relevan untuk dokumenter Gonzo seperti ini.
THE AMERICAN
Dir: Anton Corbijn
Kita mungkin mengenal Anton Corbijn, sutradara asal Belanda, dari videoklip-videoklip U2, Metallica, Depeche Mode dan tentunya “Heart Shaped Box”-nya Nirvana. Setelah membuat biopic tentang Ian Curtis, frontman Joy Division di Control, Corbijn berkolaborasi dengan George Clooney untuk The American. Clooney yang bermain di film ini bukanlah Clooney yang kamu kenal di film One Fine Day atau Oceans 11. Ini adalah Clooney versi idealis yang membuat film-film geopolitics seperti Syriana, Subversi komunisme ala Good Night And Goodluck dan anti-korporasi ala Michael Clayton. Clooney disini bermain kontemplatif seperti pada saat dia bermain di indiecliche underdog tahun kemarin, Up In The Air. Sebuah crime-thriller ala film-film Eropa yang minim dialog, penuh dengan atmosfir, moody, dan action yang intens layaknya sebuah spaghetti western karya Sergio Leone. Clooney adalah seorang pembunuh bayaran yang bersembunyi di kota kecil di Italia, mengihindari orang-orang Swedia yang ingin membunuhnya, dan sesekali bertemu seorang pelacur cantik (yang sering sekali tampil telanjang dan diperankan oleh Violante Placido). Isolasi, alienasi dan komtemplasi adalah tema besar yang ingin Corbijn angkat di film ini. Visual pun sangat kontemplatif (baca: indah) dan akan memanjakan mata kamu. Kalau penonton lebih memilih Clooney untuk bermain dalam film-film boxoffice rutin seperti Ocean 11, maka merekalah yang rugi. This is Clooney at his best. Watch this film, and you’ll thank me for the tips later.
THE TOWN
Dir: Ben Affleck
Ben Affleck adalah sutradara yang keren. Saya ulangi frase tadi: Ben Affleck adalah SUTRADARA yang keren. Mungkin dalam berakting, Ben memang tidak sebaik adiknya Casey Affleck, yang juga bermain menjadi protagonis di film pertama Ben: Gone Baby Gone. Setelah kolaborasinya dengan Matt Damon menulis naskah untuk film Gus Van Sant — Good Will Hunting (yang memenangkan piala Oscar untuk best adapted screenplay pada tahun 1997 — Sepertinya bakat menulis Ben yang terpendam mulai berkembang. Gone Baby Gone (2007) adalah debutnya dimana Ben memasuki wilayah film noir dalam sebuah crime drama yang kompleks. Kali ini, dalam The Town dia mencoba mengadaptasi novel Prince of Thieves karya Chuck Hogan. Sama seperti Gone Baby Gone, agar tetap setia pada gen Irlandia keluarganya, Ben mengangkat kehidupan para perampok bank yang hidup di komunitas Irlandia di kota Boston. Kehidupan blue collar worker, imigran Irlandia dan demografinya pun terlihat sangat otentik di film ini. Film ini akan semakin memperkaya sub genre crime drama yang berlokasi di kota Boston setelah The Departed-nya Martin Scorsese atau Mystic River-nya Sean Penn. This is the crime drama that you’ve all been waiting for. This movie is bad-ass to the bone.
THE FIGHTER
Dir: David O. Russell
Entah kenapa David Russell senang sekali berkerjasama dengan Mark Wahlberg. Tapi yang pasti, jika keduanya berkolaborasi di satu film, kemungkinan besar film itu akan bagus. The Fighter adalah salah satu biopic tentang olahraga tinju yang menarik. Cinderella Man, Raging Bull dan Ali mengambil angle yang berbeda, tetapi The Fighter menurut saya memiliki alur cerita yang sangat dinamis bila dibandingkan dengan film-film bertema tinju lainnya. Performa Christian Bale dan Wahlberg patut diacungi jempol. Chemistry mereka didalam layar terasa natural, bahkan saya sempat menduga kalau Russell ingin memakai gaya penyutradaan cinema verite. Who thought boxing films could be this interesting? This one packs a punch.
WINTER’S BONE
Dir: Debra Granik
Probably the darkest film in this list. Winter’s Bone Bisa masuk kedalam tradisi sub genre Southern Gothic ala film-film Terence Malick, walupun tidak sepuitis Southern Gothic-nya David Gordon Green. Sebuah film yang bercerita tentang para pembuat kokain di pegunungan Ozark (daerah Arkansas) bukanlah materi yang tepat untuk sebuah box-office yang jitu. Meh. Apalagi dengan adanya sebuah scene yang memperlihatkan seorang remaja dan adiknya menguliti dan mengambil jeroan tupai (yang kemudian akan disantap. Mmm..). Tentunya film tipe beginilah yang akan dijauhi para penonton mainstream, dan disukai oleh para kritikus. Tema sentral adalah mengenai keterasingan kehidupan di pegunungan Ozark. Supir truk, penebang kayu, petani, koboy dan trailer-trailer para peramu kokain, rupanya Debra Granik ingin memperlihatkan kehidupan rural yang sangat otentik, dimana kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat yang patriarkis terlihat sangat kental. Protagonis adalah Ree, — perempuan berumur 17 tahun — yang mencari sang ayah yang hilang ditelan bumi. Ree terlihat seksi bertualang mencari ayahnya dengan kemeja flannel dan ugg bootsnya. Dan sebagai poin plus, ada seorang badass bernama “Teardrop” yang memecahkan jendela mobil menggunakan kampak, menodong sherrif dengan shotgun, dan selalu menghisap kokain ditempat umum. This film is filled with unforgettable realism. Trust me.
INCEPTION
Dir: Christopher Nolan
Jika Seringai adalah rock oktan tinggi, maka Inception adalah film ber-oktan tinggi. Segmen demografi penggemar Christopher Nolan adalah penonton yang menyukai film-film yang menyerupai labirin, teka-teki, bahkan narasi yang membingungkan seperti Rubik’s Cube. Film-film Christopher Nolan memang dipenuhi dengan naskah yang presisi, dialog-dialog intelek dan persembahan yang menyerupai puzzle dengan medium sinematik. Premis-premis yang tidak terbayangkan sebelumnya dibesut Nolan dalam film studi karakternya Following (1998), Insomnia (2002) dan Memento (2000), yang memiliki struktur plot acak. Hebatnya lagi, Nolan bahkan memasukan unsur film noir dalam film box officenya: Dark Knight (2008). Bagaimana dengan Inception? Inception yang berdurasi 2 jam 30 menit ini diisi dengan padat. Tema tentang penyesalan masa lalu, kematian, insomnia, paradoks, daya ingat otak manusia sampai lucid dreaming dibahas Nolan tanpa terlihat menggurui. Bahkan menurut beberapa majalah, Nolan selalu melakukan riset medis ke ahli-ahli psikologi, rumah sakit jiwa sampai ke profesor-profesor yang relevan dengan tema di filmnya. Untuk beberapa orang mungkin film ini seperti Shutter Island versi 2.0. Bagi saya ini jauh lebih baik. Sebuah mahakarya yang dikemas dengan sangat baik: visual yang indah, action sequence yang intens, Marion Cotillard dan Ellen Page sebagai pemanis, Michael Caine dengan ciri khas karismanya, dan tentunya kualitas akting Leo DiCaprio dan Joseph Gordon-Levitt yang semakin prima. Bagi yang belum pernah menonton Inception, i urge you to see this one and get your mind blown (literally).
THE SOCIAL NETWORK
Dir: David Fincher
Salah satu cerita paling menarik untuk tahun ini yang berhasil diolah Aaron Sorkin (Penulis naskah) ke layar lebar:, yaitu sebuah semi-biopic mengenai Mark Zuckerberg, pencipta Facebook. Film ini menempati posisi ideal yang nyaman: menghibur dan memiliki alur yang mudah untuk penonton mainstream, sekaligus memperlihatkan kompleksitas pribadi seorang Mark Zuckerberg dan bisa juga dikategorikan sebagai film studi karakter yang berbobot. Sisi gelap berdirinya salah satu korporasi terbesar yang berhasil merubah dunia ini berhasil ditampilkan sutradara David Fincher yang sebelumnya telah memberi kita thriller (Panic Room & The Game), Film noir (Se7en & Zodiac), dan sebuah drama yang epik (Curious Case of Benjamin Button). Fincher selalu berhasil membuat nuansa kelam dan plot yang intens, apalagi dengan bantuan scoring dari Trent Reznor dan Atticus Ross yang haunting. Kualitas akting Jesse Eisenberg pun semakin prima. Film ini tentunya berhasil memisahkan dirinya dari aktor-aktor remaja berbakat lainnya seperti Aaron Johnson, Michael Cera atau Paul Dano dan menempatkannya pada sebuah pedestal yang lebih tinggi. The Social Network adalah film yang mendefinisikan sebuah generasi. The Social Network adalah Rebel Without A Cause untuk generasi sekarang.
TRUE GRIT
Dir: Joel Coen & Ethan Coen
Sebuah adapatasi film koboy klasik John Wayne oleh duo favorit saya sepanjang masa: Coen Brothers. Bercerita tentang Mattie Ross, perempuan berumur 14 tahun yang ingin mencari (dan membunuh) pembunuh ayahnya. Dibantu oleh seorang marshall bernama “Rooster” yang diperankan oleh si karismatik, Jeff Bridges. Performa Jeff Bridges tidak bisa dipungkiri lagi: sebagai The Dude yang sangat ikonik di Big Lebowski (film noir arahan Coen Bros juga), bermain keren sebagai Bad Blake di Crazy Heart, dan bahkan bisa memberi warna untuk film sejelek Tron: Legacy. Disini, Jeff Bridges tidak mencoba untuk mengikuti jejak John Wayne yang badass, melainkan memberi performa dengan ciri khas Jeff Bridges untuk menghidupi karakter “Rooster” ini. Roger Deakins sebagai sinematografer/D.O.P andalan Coen Bros kembali hadir disini dengan menghasilkan shot-shot wide angle yang indah, Deakins tidak hanya sebatas ingin menunjukkan kemampuannya disini, melainkan memberi fondasi yang kuat untuk cerita dan narasi yang ada di film ini. Sebuah film koboy klasik yang sangat menghibur, tetapi juga tidak cemen, True Grit adalah salah satu contoh kembalinya dunia perfilman kepada The Golden Age of Cinema dimana film menarik bukan hanya animasi CGI, ledakan, drama indie, ataupun tradisi rutinitas horor masa kini. Sudah waktunya ada sutradara yang kembali membangunkan genre film western. This film puts my faith back in Hollywood.
HONORABLE MENTIONS:
1. CHICO AND RITA (Fernando Trueba)
2. BLUE VALENTINE (Derek Cianfrance)
3. RABBIT HOLE (John Cameron-Mitchell)
4. BOXING GYM (Frederick Wiseman)
5. KING’S SPEECH (Tom Hooper)
6. MACHETE (Robert Rodriguez)
www.thebastardsofyoung.com
Order from 9 AM - 7 PM
LINE: bastards_of_young
Phone : 0812-2002-9263 (SMS only)