Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas / Vengeance is Mine, All Others Pay Cash (Dir. Edwin)
French New Wave sekarang mempunyai saingan baru. Sebut saja gelombang baru sinema Indonesia, atau Indonesian New Wave, dengan film-film seperti Penyalin Cahaya, Yuni, Losmen Bu Broto, The Boy With Moving Image dan tentunya film ini. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas adalah karya sutradara nyentrik, Edwin (Aruna dan Lidahnya). Edwin mengemas tema-tema berat seperti trauma, kekerasan seksual, penyalahgunaan kekuasaan dan toxic masculinity dengan sajian ala film action Indonesia tahun ‘80an yang cheesy. Lengkap dengan kekerasan, seks yang vulgar, dan dialog berbahasa baku. Sinematografi keren di film ini di shot menggunakan film 16mm oleh Akiko Ashizawa.
Benedetta (Dir. Paul Verhoeven)
Sebuah thriller-erotis dari sutradara Paul Verhoeven (Robocop, Basic Instinct) mengenai 2 biarawati lesbian tentunya akan menjadi tontonan yang menarik, dan sedikit absurd. Benedetta dianggap sebagai seorang mistik semasa hidupnya karena banyak kejadian-kejadian aneh, seperti stigmata menimpa dirinya. Dengan backdrop kota Tuscany Italia pada abad 17, tentunya semua cerita gothic medieval akan juga menampilkan pandemi black death. Dibalik semua keanehan itu, ternyata film ini berdasarkan kisah nyata.
Pig (Dir. Michael Sarnoski)
Ketika kami pertama kali melihat trailer Pig, kami kira ini adalah sebuah revenge thriller generik dimana seorang Nicolas Cage memburu para penculik babi piaraan-nya menggunakan alat-alat bertani. Pig, disisi lain, adalah sebuah studi-karakter yang mendalam mengenai seorang mantan chef penyendiri yang tinggal di hutan. Di film kita akan melihat hubungan dan ikatan emosional seseorang dengan hidangan-hidangan favorit mereka. An unexpected rare gem of a film.
The Green Knight (Dir. David Lowery)
Apa yang akan kamu dapatkan dari adaptasi fable King Arthur versi A24 Films? Tentunya kamu akan melihat adaptasi legenda King Arthur dan Sir Gawain yang dikemas sebagai art-house cinema bertempo lambat. Sebuah petualangan medieval yang indah secara visual, puitis, surreal, sedikit gory dan merupakan sebuah meditasi mengenai kematian (dan kehidupan) secara umum. Kapan lagi kamu melihat Dev Patel membawa kapak raksasa?
The Suicide squad (Dir. James Gunn)
Segerombolan super-villains melawan Kaiju di sebuah pulau terpencil? Siapa sangka team anti-hero underdog dari DC Comics ini bisa ditampilkan secara spektakuler oleh James Gunn (Guardians of the Galaxy) dengan sepenuh hati (not looking at you David Ayer). Dari Rambo yang mengisi suara King Shark, John Cena sebagai Captain America versi asshole (Peacemaker), David Dastmalchian sebagai supervillain obscure (Polkadot Man), dan tentunya visual eye-candy Margot Robbie sebagai Harley Quinn. Tapi para pencuri scene di film ini adalah Idris Elba (Bloodsport) dan Daniela Melchior sebagai Ratcatcher 2. Disini, DC berani mengambil resiko yang selama ini tidak pernah diambil Marvel.
Spencer (Dir. Pablo Larrain)
Penampilan Kristen Stewart sebagai Princess Diana dengan kondisi mental terpuruk disini sudah seharusnya memenangkan banyak penghargaan di kemudian hari. Film drama biopik mengenai Princess Diana ini menggambarkan 3 hari dalam kehidupan Diana. Sebuah film natal tanpa kebahagiaan dan cenderung depressing. Diana seolah terjebak dalam konservatisme kerajaan Inggris dan incaran para paparazzi. Seolah hidup dalam sangkar emas dan tanpa privasi, semua itu ditampilkan Pablo Larrain dengan sinematografi indah yang di shot menggunakan kamera film. Oh ya, Jonny Greenwood dari Radiohead pun turut mengisi scoring film ini.
The Harder They Fall (Dir. The Bullits)
Jika kamu hanya menonton satu film koboy saja tahun ini, The Harder They Fall (atau Old Henry) tidak akan mengecewakan. Disutradarai oleh The Bullits (adik kandung penyanyi Seal), film ini menampilkan tembak-tembakan yang stylish dan visual yang penuh estetika. Sebuah blaxploitation dengan anakronisme musik kontemporer (seperti Samurai Champloo) tentunya adalah sebuah sajian yang jarang ditemui di film western. Idris Elba dan Zazie Beets stole every scene.
C’mon C’mon (Dir. Mike Mills)
What else can we say, semua elemen di film ini memang bagus: akting raw Joaquin Phoenix dan Woody Norman, sinematografi monokrom yang keren dari Robbie Ryan (The Favourite, Marriage Story), dan tentunya direksi Mike Mills yang presisi. Film ini membahas mental illness dan parenting dengan style fun, seperti layaknya chemistry Joaquin dan Woody disini. Sebuah film mengenai keluarga dan parenting ala studio A24 tentunya tidak akan kamu lewatkan begitu saja.
The Medium (Dir. Banjong Pisanthanakun)
Dan pemenang film paling mengerikan untuk 2021 goes to… The Medium! Mungkin kalian mengingat Banjong Pisanthanakun sebagai sutradara film horror klasik, Shutter. Kali ini dia berhasil meng-elevate semua yang telah dia pelajari untuk membuat bulu kudukmu berdiri. Menggabungkan genre found-footage horror ala Blair Witch Project dengan kearifan lokal Thailand, dimana budaya klenik atau supernatural masih melekat di masyarakat-nya. Banjong lebih prefer memainkan ritme ketimbang menggunakan jump scare murahan, dan tentunya rasa takut yang dibangun perlahan dari awal film sampai klimaks akan lebih lama bertahan ketimbang jump scare ala James Wan.
Riders of justice (Dir. Anders Thomas Jensen)
Sebuah revenge-thriller yang dibintangi Mads Mikkelsen tidak akan pernah salah. Setelah mendapat banyak penghargaan tahun lalu dengan Another Round, aktor yang menjadi wajah sinema Denmark ini kembali tampil maksimal disini. Dibalik scene-scene action dan kekerasan yang ditampilkan di film ini, tema-tema serius seperti trauma seksual, grief, dan takdir kerap mewarnai tema sentral film ini. Beberapa elemen dark comedy disini pun tidak hanya menjadi comic relief pelengkap. If you wanna see Mads bangs his head into a mirror, this is the movie.
The French dispatch (Dir. Wes Anderson)
Benar adanya jika The French Dispatch disebut sebagai “sebuah surat cinta untuk jurnalisme” dan tribute untuk The New Yorker. Film ini adalah sebuah selebrasi visual yang meriah dan dengan storytelling yang fun. Seperti menonton sebuah artikel yang sedang ditulis; dimana para jurnalis tersebut menjadi narator-nya. Wes Anderson adalah seorang auteur yang benar-benar bermain dengan semua aspek teknikal dari mise en scène, desain produksi, kostum, tata suara dan aspect ratio. Semua detail-detail komponen tersebut di aransmen dengan baik oleh-nya. This film is a treat.
Drive My Car (Dir. Ryusuke Hamaguchi)
Tentunya tidak mudah meng-adaptasi karya Haruki Murakami (Men Without Women) untuk menjadi inspirasi sebuah film, tetapi Ryusuke Hamaguchi berhasil melakukan ekspansi itu tanpa cacat. Mengambil judul film dari lagu The Beatles yang berjudul sama, Drive My Car Bercerita mengenai seorang istri (Reika Kirishima) yang “menulis” cerita erotis sambil bercinta, seorang supir wanita misterius (Toko Miura) dan seorang suami (Hidetoshi Nishijima) yang menghafalkan skrip dialog teater sambil mengendarai mobil Saab 900 warna merahnya. Film berdurasi 3 jam ini terasa singkat layaknya mobil Saab merah yang melintasi backdrop kota Tokyo dan Hiroshima tanpa menemui kemacetan. Seperti meditasi, Drive My Car penuh dengan ketenangan diatas semua absurditas kehidupan. Sebuah film yang menyerupai self-healing dan terapi, terkadang kita semua membutuhkan sebuah film dengan sensibilitas seperti ini.
Titane (Dir. Julia Ducournau) - Perancis
Setelah menuai kontroversi dengan Raw (2016) yang bertema kanibalisme, Julia Ducournau kembali membuat sebuah pengalaman body-horror ala David Cronenberg yang akan membuatmu tidak nyaman. Mungkin ini film paling liar yang ada di list ini. Ketika sci-fi bertemu dengan drama keluarga, dimana seks dan kekerasan diramu dengan storytelling yang menarik, maka penghargaan tertinggi Cannes seperti Palme D’or pun layak didapatkan oleh film ini. Film ini bahkan mengalahkan The French Dispatch milik Wes Anderson dan menjadi favorit pengunjung Cannes lengkap dengan standing ovation. Mungkin Titane adalah film paling sadis tahun ini, yang juga bisa sekaligus menjadi film yang paling menyentuh.
Honorable mentions:
1. Dune (Dir. Denis Villeneuve)
2. Licorice Pizza (Dir. P.T. Anderson)
3. A Hero (Dir. Ashgar Farhadi)
4. Nobody (Dir. Ilya Naishuller)
5. Memoria (Dir. Apichatpong Weerasethakul)
6. Petite Maman (Dir. Céline Sciamma)
7. Card Counter (Dir. Paul Schrader)
8. Last Night in Soho (Dir. Edgar Wright)
9. Cliff Walkers (Dir. Zhang Yi-Mou)
10. The Sadness (Dir. Rob Jabbaz)
www.thebastardsofyoung.com
Order from 9 AM - 7 PM
LINE: bastards_of_young
Phone : 0812-2002-9263 (SMS only)