Sisu (Dir. Jalmari Helander)
Sisu adalah sebuah eksekusi yang keren dari Jalmari Helander, seorang penulis skrip dan sutradara asal Finlandia. Sisu seolah menggabungkan alternate-reality dari perang dunia 2 ala Inglorious Basterds-nya Tarantino dilebur dengan white knuckle action yang fantastis dan jauh dari realita. Semua yang kamu sukai dari film action ‘80an dengan sedikit bumbu dan elemen film horror ada disini, dan sepertinya tidak ada film action yang lebih fantastis dari Sisu di tahun 2023 ini. Lupakanlah “John Wick 4” dan “Mission: Impossible Dead Reckoning Part 1”, Kapan lagi kamu melihat 1 orang kakek membantai se-platon pasukan Nazi?
Talk to Me (Dir. Danny & Michael Philippou)
Sebuah ide yang segar pada film horror tentunya bisa menaklukkan jump-scare dan tradisi film horror Blockbuster kebanyakan. Bukankah kita semua sudah bosan pada cerita rumah berhantu, suster/biarawati ngesot dan hantu berambut panjang? Layaknya sebuah ide segar yang di-eksekusi dengan sangat efisien, “Talk to Me” berhasil meng-elevate cerita klasik dimana para karakter bermain dengan jelangkung atau papan Ouija. Lupakanlah jump-scare murahan dari James Wan dan sambutlah duo sutradara horror pendatang baru ini.
The Killer (Dir. David Fincher)
Sebuah thriller prosedural dari David Fincher (Seven, Fight Club, Gone Girl) yang presisi selalu menarik untuk ditonton. Fassbender dengan piawai memainkan seorang pembunuh bayaran yang dingin dan penuh kalkulasi. Melihat Fassbender melakukan gerakan yoga sambil mendengarkan The Smiths di film ini sangat menghibur dan meresahkan di saat yang sama.
The Holdovers (Dir. Alexander Payne)
The Holdovers adalah sebuah selimut hangat yang dibutuhkan para sinefil, setidaknya setahun sekali. The Holdovers adalah sebuah film drama dengan setting kampus/sekolah yang membangkitkan kita akan coming-of-age nostalgia seperti “The Breakfast Club (1985)”, “Ferris Bueller’s Day Off (1986)” atau bahkan “Dead Poets Society (1989)”. Mungkin tidak selucu karya monumental Alexander Payne (yang juga diperankan Paul Giamatti) “Sideways (2004)”, tetapi The Holdovers adalah performa terbaik Paul Giamatti, dan tentunya mempunyai tempat spesial di hati para penggemar dramedy dengan vibe ’70an.
The Boy and the Heron (Dir. Hayao Miyazaki)
The Boy and the Heron adalah kisah tentang perlunya seseorang untuk mengakui dan menerima tanggung jawab. Sepertinya film ini adalah tentang dunia Studio Ghibli yang lahir dari imajinasi liar Miyazaki, dan bisa hancur seketika tanpa ada penerusnya. Sebuah dialog antara Miyazaki dengan inner childnya, dan sebuah metafora fantastis tentang menerima kematian. Semua ini divisualisasikan melalui serangkaian lanskap surealis yang berskala epik, tentunya dengan scoring Joe Hisaishi. Memang ada beberapa anime menarik yang dirilis tahun ini seperti “Suzume”, “First Slam Dunk” dan “Blue Giant”. Walaupun ini bukan karya terbaik Miyazaki, The Boy and The Heron dengan mudah bisa sedikit lebih menonjol dari film anime lain yang dirilis di tahun ini.
Cocaine Bear (Dir. Elizabeth Banks)
Fun adalah kata kunci untuk Cocaine Bear. Sepertinya tidak ada film yang dirilis di tahun ini yang mempunyai alur cerita sekonyol film ini. Cocaine Bear menggabungkan comedy slapstick, horror dan petualangan ala film Steven Spielberg '80an, yang kemudian dikemas dengan apik. Sebuah film yang menyenangkan untuk ditonton bersama teman-teman sambil menyantap snack dan bir dingin. Sometimes, we need fun movies like this.
How To Blow Up A Pipeline (Dir. Daniel Goldhaber)
Mungkin ini adalah film dengan pesan aktivisme yang cukup penting di tahun 2023 ini. Jika membicarakan efek rumah kaca dan krisis iklim, suka atau tidak suka tentunya efek perubahan cuaca ekstrim sudah mulai terasa langsung oleh kita semua. How To Blow Up A Pipeline diadaptasi dari novel berjudul sama karya Andreas Malm yang diterbitkan pada tahun 2021. Sebuah buku yang mengusulkan tindakan kekerasan dan direct action dalam menanggapi krisis iklim ini dikemas menjadi film heist-thriller yang menarik. Goldhaber mengadaptasi novel Andreas Malm menjadi film thriller perampokan yang sangat efisien. Alih-alih masuk ke lemari besi atau membobol museum, 8 karakter di film ini berkonspirasi untuk melakukan tindakan sabotase yang akan merusak harga minyak di seluruh dunia. Dunia membutuhkan lebih banyak lagi film dengan pesan yang kuat.
When Evil Lurks (Dir. Demián Rugna)
Apa yang baru saja saya tonton? Film horror ini benar-benar menghancurkan semua ekspektasi saya yang menyangka film ini adalah horror dengan sub-genre possession yang dikemas menjadi film zombie. “When Evil Lurks” bukanlah film horror yang akan mengagetkan kamu lalu besoknya akan terlupakan. Film ini akan menghantui dan menetap, layaknya film-film seperti Hereditary (2018), Possession (1981) ataupun Rosemary’s Baby (1968). Sinematografi yang epik, pacing yang intens dan practical effects yang akan membuat bulu kuduk mu berdiri ada disini. Pada akhirnya, tema gelap yang terdapat pada sebuah film horrorlah yang membuat film itu “mengerikan”, tentunya didukung dengan eksekusi yang presisi oleh Demián Rugna.
Godland (Dir. Hlynur Pálmason)
Jika kalian menyukai “There Wil Be Blood” karya P.T. Anderson, kemungkinan besar kamu akan menyukai yang satu ini. Visual skandinavia yang indah dan dingin menyelimuti atmosfer film ini. Dengan pacing lambat ala drama slow-burn, Godland adalah sebuah pengalaman sinematik yang menarik, bayangkan saja jika kita bisa menonton yang satu ini di layar lebar. Pendeknya: Godland adalah There Will Be Blood yang ber-setting di Iceland. Kalian bisa mempertanyakan tema-tema moralitas, keserakahan dan ketuhanan itu sendiri di film ini. Sudah tentu kami akan menantikan karya-karya berikutnya dari Hlynur Pálmason!
Killers Of The Flower Moon (Dir. Martin Scorsese)
Epik berdurasi tiga jam ini bukanlah potret gangster stylish ala “Goodfellas”, neo-noir ala “Taxi Driver” ataupun horror psikologis seperti “Shutter Island”— mungkin bagi seorang pembuat film ulung berusia 81 tahun yang masih selalu mencari cerita baru untuk diceritakan, ini adalah sebuah mahakarya epik. Mahakarya Scorsese yang terakhir ini adalah kisah epik yang diceritakan secara mendalam tentang “perampokan” dan pembunuhan sistematis terhadap suku Indian Osage di Oklahoma, Amerika Serikat pada tahun 1920-an. Ini adalah kisah nyata tentang suku Osage yang terpaksa menyaksikan pemberantasan mereka sendiri dan tidak berdaya untuk menghentikannya. Yang terpenting; ini adalah film tentang kulit putih, dan ini hanya sepenggal kisah kebrutalan sejarah kulit putih Amerika. Secara tidak langsung Scorsese menceritakan kepada penonton bahwa sejarah Amerika dibangun dengan darah.
Godzilla: Minus One (Dir. Takashi Yamazaki)
Minus One mempunyai keseimbangan antara drama dan visual yang penonton inginkan di sebuah film Godzilla dengan tepat. Film ini juga menarik dan mempunyai set-pieces yang sangat spektakuler. “Godzilla Minus One” adalah sebuah cerita yang sangat emosional, mendalami tema-tema yang berfokus pada semangat hidup manusia dan tema-tema survival di masa yang penuh ketidakpastian. Kamu tidak akan percaya kalau film monster bisa membuat kamu menangis dan berpikir, tapi Godzilla Minus One melakukannya dengan sangat berhasil. Mungkin ini adalah film Godzilla terbaik yang pernah dirilis.
Monster (Dir. Hirokazu Koreeda)
Siapa monsternya? Apakah kamu? Dia? Atau Saya? Ketika pertanyaan-pertanyaan ini mengganggu pikiran kita, tentunya ini adalah film yang harus ditonton lebih dari satu kali. “Monster” adalah sebuah karya Hirokazu Koreeda yang berhasil (lagi) setelah sutradara Jepang ini mendapatkan kesuksesan mainstream dari “Shoplifters (2018)” dan “Broker (2022)”. Begitu banyak kemungkinan yang terungkap melalui struktur narasi multiperspektif ala Reservoir Dogs-Tarantino atau Rashomon milik Akira Kurosawa. Saya berharap saya dapat menonton ulang lagi film ini untuk pertama kalinya. Satu kata kunci: film ini adalah tentang “kesalahpahaman”. Bagaimana dua anak, seorang ibu, seorang guru, dan seorang sutradara dapat membuat alur cerita sebuah film menjadi begitu unik?
Anatomy of a Fall (Dir. Justine Triet)
Drama psikologis pemenang Palme d’Or yang sangat cerdas ini mengadili seorang istri yang dicurigai bertanggung-jawab atas kematian suaminya. Sang istri Sandra mempertahankan kepolosannya, namun ia adalah seorang wanita yang cerdas sehingga 'polos' bukanlah label yang cocok untuknya. Di antara dua kutub absolut antara ‘bersalah’ dan ‘tidak bersalah’ terdapat spektrum kesalahan dan keterlibatan yang beragam. Anatomy of a Fall menavigasi kekeliruan moral ini dan mengungkap absurditas dalam mencoba mengambil keputusan biner yang sederhana. Film ini adalah contoh bagaimana sebuah film bisa berhasil dalam beberapa genre sekaligus: Sebagai film thriller menegangkan yang membuat penonton terus bertanya siapa, bagaimana & mengapa hingga frame terakhir, sebagai drama ruang sidang yang menegangkan, dan tentunya sebagai potret pernikahan yang retak dilihat dari serangkaian perspektif yang sedikit berubah. Sutradara Justine Triet berhasil membuat durasi dua setengah jam dari misteri pembunuhan art-house ini terasa lebih pendek daripada satu jam episode serial TV.
Honorable Mentions:
Infinity Pool (Dir. Brandon Cronenberg)
Oppenheimer (Dir. Christopher Nolan)
Barbie (Dir. Greta Gerwig)
TÁR (Dir. Todd Field)
Poor Things (Dir. Yorgos Lanthimos)
Asteroid City (Dir. Wes Anderson)
Beau is Afraid (Dir. Ari Aster)
Showing Up (Dir. Kelly Reichardt)
Night of the 12th (Dir. Dominik Moll)
Saltburn (Dir. Emerald Fennel)
Past Lives (Dir. Celine Song)
Suzume (Dir. Makoto Shinkai)
Poor Things (Dir. Yargos Lanthimos)
Dream Scenario (Dir. Kristoffer Borgli)
The Zone of Interest (Dir. Jonathan Glazer)
www.thebastardsofyoung.com
Order from 9 AM - 7 PM
LINE: bastards_of_young
Phone : 0812-2002-9263 (SMS only)